Minggu, 04 April 2010

untuk wanita...


Wahai saudariku, semoga tulisan ini bisa membawa kebaikan untuk peningkatan akhlak bagi kita semua, baca baik-baik dan renungkanlah...


Sesungguhnya wanita adalah sebaik-baiknya perhiasan dunia jika dirinya bertaqwa, lebih indah dari perhiasan apapun di dunia ini. Ia membawa kesejukan jika dipandang, membawa kebaikan jika dijadikan kawan, anak yang shalihah dan membanggakan orang tuanya, menyenangkan suaminya, teladan bagi adik atau anak-anaknya, dan dicintai oleh Allah rabbul alamin...

“Dunia dan seluruh isinya adalah perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita
shalihah.” (HR Ahmad dan Muslim)

Namun jika sebaliknya, maka kehancuran baginya dan orang lain, ia akan menjadi ujian bagi orang tuanya, maupun suaminya, teman yang buruk untuk didekati, dan hilanglah kehormatan dirinya...

wahai saudariku, janganlah kita menghilangkan batas-batas yang telah Allah swt tetapkan untuk menjaga kehormatan kita, Allah swt telah menetapkan batas-batas aurat kita, tapi kita melebihkan batasannya, bahkan berpakaian lebih kecil dan lebih sempit daripada laki-laki (aurat laki-laki antara pusar dengan lutut), ada saudari-saudari kita yang bergaul tanpa batas dengan lawan jenisnya, bangga jika kawan lelakinya banyak, bangga jika gayanya mirip lelaki, bangga jika dirinya dikelilingi oleh lelaki.. wahai saudariku, tidaklah sampai pada kalian firman Allah swt :

“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau puteraputera
suami mereka, atau saudara-saudara lakilaki
mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budakbudak
yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.” (QS An-Nuur [24] : 31)


bukalah matamu wahai saudariku, siapakah yang menetapkan hukum ini? Siapa yang memerintahkanmu untuk melakukan ini? Ialah Allah Rabbul ‘alamin, Tuhan yang menciptakanmu, yang mengasihimu, yang tidak ingin keburukan terjadi padamu, yang tidak ingin kehinaan menimpamu, yang melindungimu, yang menginginkan kehormatan bagimu… tapi kau menukar itu semua dengan kehidupan dunia, dengan langkah-langkahmu ke tempat-tempat maksiat, dengan kerelaanmu dijamah lelaki yang tidak halal bagimu, dengan wajahmu yang tidak pernah bersujud kepada Allah, dengan hatimu yang tidak pernah mengingat Allah, malah mengingat lelaki yang jelas-jelas bukan suamimu, itukah balasan untuk Allah rabbul alamin yang menciptakanmu dan menyempurnakan rupamu???

Wahai saudariku, betapa anehnya dunia sekarang ini, benarlah sabda Rasulullah saw bahwa akan datang zamannya orang yang mempertahankan agamanya bagaikan menggenggam bara api, begitulah keadaan kita sekarang… yang haram seakan menjadi halal, orang yang memilih halal malah tak jarang mendapat cemoohan, orang yang pacaran sekarang telah dianggap biasa, dianggap suatu kewajaran, karena katanya itulah fitrah manusia, beginikah saudariku? Telah hilanglah malumu? Lihatlah Rasulullah saw, beliau adalah sosok yang sangat pemalu, para sahabat ra mengibaratkan beliau lebih pemalu daripada anak gadis yang dipingit pada masa itu… namun, jika diibaratkan dengan gadis zaman sekarang, sungguh tidak sebanding…

Jika dikatakan tentang pernikahan, mereka bergidik, takut untuk menghadapinya… beribu alasan dilntarkan untuk menundanya, sedangkan apa alasan mereka jika dihadapkan pada Rabbul alamin tentang zina yang mereka lakukan..??


Siapakah panutan kita wahai saudariku? Siapa yang kau agung-agungkan hingga kau wujudkan pribadinya dalam perilakumu? Para artiskah? Silakan jika teladan mereka adalah Rasulullah saw, silakan jika panutan mereka adalah para ummul mukminin, silakan jika panutan mereka adalah orang-orang shalih, jika tidak, tinggalkanlah mereka.. karena mereka tidak akan membawa kebaikan apapun untukmu...

Lihatlah pada Sayyidah Khadijah bintu Khuwailid ra, istri Rasulullah saw yang mendapat salam dari Allah swt dan malaikat, beliau adalah suri teladan bagi istri-istri, anak-anak dan saudari-saudari kita, beliau mengorbankan seluruh jiwa, harta dan kedudukannya untuk Allah dan Rasulullah serta untuk kemenangan Islam dan kaum Muslimin..

Lihatlah akhlak para wanita anshar yang hati mereka senantiasa diliputi dengan kecintaan Allah dan RasulNya. Diriwayatkan, seusai sebuah peperangan yang diikuti oleh Rasulullah saw, salah seorang sahabat yang ikut dalam perang tersebut mengatakan kepada salah satu wanita anshar: “wahai fulanah, ayahmu telah terbunuh!”
Wanita itu menjawab, “aku tidak bertanya ayahku, aku bertanya apa yang terjadi pada Rasulullah?

Ia hanya menanyakan keadaan Rasulullah, hingga sahabat itu memberitahu bahwa saudara dan anaknya juga telah meninggal, ia tetap tidak peduli, yang diingatnya hanya Rasulullah saw... dan ketika menyaksikan Rasulullah saw dalam keadaan baik barulah ia tenang, seraya berkata, “sesungguhnya setiap musibah, selain yang menimpa dirimu wahai Rasulullah, adalah hal yang kecil”

Lalu bagaimana kecintaan kita terhadap Allah dan Rasul-Nya? Mengucap cinta adalah hal yang mudah, tapi apakah tandanya? Apakah bukti cinta itu adalah meninggalkan shalat subuh terus menerus adalah tanda cinta? Apakah enggan menutup aurat adalah tanda cinta? Banyak diantara kita yang menutup mata dengan hal ini... berkata Imam Abdullah Al-Haddad “terkadang sebagian orang bodoh menjauhi para ahli ilmu dan majelis-majelis orang alim karena takut mengetahui perbuatan yang wajib untuk dilakukan. Dia menyangka bahwa hal itu menjadi uzur baginya, padahal sama sekali tidak demikian. Sesungguhnya hal itu malah menambah tekanan dan tuntutan atasnya, karena berpaling dari hukum Allah dalam hal ilmu maupun amal, dan itu lebih parah. Batas maksimal uzur pada sesuatu adalah bagi orang yang dididik di pedalaman dan di tempat yang jauh dari orang-orang Islam. Sedangkan seorang yang muslim dan orang tuanya juga orang muslim, bagaimana ada uzur baginya?”

Ya Allah, jadikanlah kami wanita shalihah, penyejuk di tengah keluarga kami, teladan bagi anak-anak kami, yang selalu taat pada perintahMu, dan berilah kami kesabaran untuk menjauhi maksiat dan menjalankan perintahMu di setiap keadaan...

Sabtu, 30 Januari 2010

Nasihat Untuk Saadah Bani Alawi

Sesungguhnya dalam diri Bani Alawi menyimpan banyak kemuliaan dan keutamaan, namun semua hal itu tidak berguna dan tidak akan menyelamatkannya jika ia menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kubangan maksiat, seakan tidak sadar bahwa Rasulullah Saw, juga sayyidah Fatimah menyaksikannya dengan hati yang luka...

Berkata Sayyidina Al-Quthb Abdurrahman bin Muhammad as-Saqqaf mengenai Bani Alawi, “sesungguhnya anak-anak kami bagaikan orang yang menggai di tanah yang bagus yang dekat mata airnya, yang airnya akan segera keluar. Sedangkan selain mereka, bagaikan orang yang menggali di gunung atau di tanah yang keras, yang hampir-hampir airnya tdak keluar. Seandainya keluar pun maka diperoleh dari jauh dan dengan susah payah, dan tidak tahu apakah air itu baik atau asin.”

Sementara Sayyidina al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Attas mengatakan, “para saadah Ba’Aalawi dan orang-orang yang mengikuti perilaku mereka –dari orang-orang yang menjadikan mereka sebagai pedoman dan panutan—dilingkupi pertolongan Allah dan diperlihara dari penjagaannya. Mereka dapat memperoleh yang dicari dalam waktu singkat dengan syarat bersih hatinya, memiliki prasangka yang baik kepada Allah dan kepada makhluk , zuhud di dunia dan berharap akhirat, memrhatikan hak-hak bagi pemiliknya, mengagungkan ilmu, ulama, para wali, dan kaum mukminin. Dan mereka menjaga hati dan pendengaran, serta memelihara dari segala sesuatu yang dapat memasukkan gangguan atas mereka, merintangi mereka dari beramal, dan menghapus hati mereka dari akhlak yang terpuji. Hal itu dilakukan agar hati mereka tetap bersih, suci , dan jernih. Jiwa mereka tenang, dan semangat mereka selalu berhubungan dengan kebaikan dan sebab-sebabnya. Demikianlah keadaan mereka.”

Namun sekarang keadaan saadah Bani Alawi sebagian besar telah menyimpang dari para pendahulunya. Mengenai ini selanjutnya Sayyidina al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Attas mengatakan, “dulu seorang Alwi itu, menggunakan tujuh tahun umurnya untuk menuntut ilmu dan tujuh tahun untuk mengajarkannya, dan setelah itu mereka menghamparkan tikar dan menghadap Tuhannya, dan mereka digantikan oleh yang lain. Sekarang di antara kalian ada yang berusia enam puluh atau tujuh puluh tahun, tapi tidak sampai belajar atau mengajar”
Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith katakan, “keadaannya memang seperti yang dikatakan oleh beliau ra. orang-orang di masa belakangan sekarangini tertinggal dari para salaf, dan ketertinggalan mereka dari para pendahulunya itu benar-benar suatu kehancuran.

Sayydina al-Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi mengatakan

“siapa tak menempuh jalan keluarganya ,akan bingung dan tersesat. Wahai keturunan Nabi, berjalanlah kalian dengan mengikutinya ikutilah selangkah demi selangkah dan jauhilah perbuatan bid’ah”

Selanjutnya beliau juga mengatakan,
“Pikiranku bingung, pula pikiran orang-orang yang serupa
Oleh keturunann suci menyimpang dari asal
Kesedihanku bertambah, tetapi tak tahu apa harus dikata
Pertolongan Allah semoga, kembalikan penyimpangan mereka”

Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad mengatakan dalam Tsabit al-Fuad mengatakan ,”salah seorang tokoh besar saadah mendengar seorang syarif mengatakan,’ayahku....kakekku...” maka ia berkata kepadanya, ‘jadilah engkau seperti ayah dan kakekmu. Jika tidak, maka engkau hanyalah selembar sorban dan gambar, yang tidak terdapat kemuliaan di dalamnya”

Beliau juga mengatakan dalam sebuah syair untuk menghilangkan sikap mengandalkan nasab,

“Berhati-hatilah engkau dari ucapan bodoh: “aku dan kamu berada dalam kemuliaan dan dalam keturunan mulia.” Beberapa kaum telah tertinggal dan mereka tak bertujuan mencapai kemuliaan, dan merasa cukup dengan ucapan, “Dia Ayahku.”

Alangkah bagusnya ucapan seseorang yang mengatakan :
“meskipun kedudukan kami mulia
Tidak pernah bersandar pada kemuliaan saja
Kami membangun sebagaimana pendahulu kami
Dan kami lakukan seperti mereka lakukan”

Al-Mutanabbi mengatakan :
“apabila seorang syarif tidak seperti datuknya
Maka apa kelebihan dari ketinggian kedudukannya
Jika seorang Alwi tak seperti Imam Ja’far layaknya
Maka dia hanya menjadi hujjah bagi kaum Nashibi”

Al-Imam Ahmad bin Umar bin Sumaith mengatakan
“barangsiapa memiliki harga diri
Tak cukup baginya ucapan. “dia ayahku”
Pemuda bukanlah yang merasa cukup
dan tertipu dengan nasab
ia tinggalkan sebab-sebab keberhasilan
menggantinya dengan kerusakan nyata
karena berharap harta dan kedudukan semata
tak punya keahlian dan bodoh pula
sesungguhnya pemuda yang teladannya
Al-Mushtafa, Nabi terbaik dari semua”

Diriwayatkan bahwa sekelompok saadah berkumpul membaca kitab al-Masyra’ar-Rawi. Mereka bersama seseorang dari kalangan masyarakat umum. Setelah dibacakan kitab tersebut, ia berkata kepada mereka, “mereka itu (tokoh-tokoh yang disebutkan dalam kitab itu) keluarga siapa?” para Saadah menjawab “mereka keluarga kami.” Kemudian orang itu mengatakan, “segala puji bagi Allah karena mereka bukan keluargaku.” Para Saadah berkata.”seandainya mereka keluargamu niscaya itu lebih baik bagimu”. Orang itu menjawab, “seandainya mereka keluargaku, niscaya aku sangat malu dan bumi terasa sempit bagiku karena amalku tidak seperti mereka.” Ucapan orang tersebut menyadarkan dan memberi pelajaran bagi mereka yang mendengarnya. Mereka kemudian bersungguh-sungguh dan berusaha keras menuntut ilmu dan beramal sesuai dengan thariqah para pendahulu mereka. Demikian yang disebutkan oleh Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi.




Tulisan di atas saya kutip dari kitab Al-Manhaj as-Sawiy,
Syarh Ushul Thariqah as-Saadah Al-Ba’Alawi,
karangan Al-Allamah Al-Muhaqqiq ad-Da’i Ilallah
Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan Judul THARIQAH ALAWIYAH.
Buku ini baik untuk dimiliki bagi seluruh Saadah Bani Alawi ....