Sabtu, 30 Januari 2010

Nasihat Untuk Saadah Bani Alawi

Sesungguhnya dalam diri Bani Alawi menyimpan banyak kemuliaan dan keutamaan, namun semua hal itu tidak berguna dan tidak akan menyelamatkannya jika ia menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kubangan maksiat, seakan tidak sadar bahwa Rasulullah Saw, juga sayyidah Fatimah menyaksikannya dengan hati yang luka...

Berkata Sayyidina Al-Quthb Abdurrahman bin Muhammad as-Saqqaf mengenai Bani Alawi, “sesungguhnya anak-anak kami bagaikan orang yang menggai di tanah yang bagus yang dekat mata airnya, yang airnya akan segera keluar. Sedangkan selain mereka, bagaikan orang yang menggali di gunung atau di tanah yang keras, yang hampir-hampir airnya tdak keluar. Seandainya keluar pun maka diperoleh dari jauh dan dengan susah payah, dan tidak tahu apakah air itu baik atau asin.”

Sementara Sayyidina al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Attas mengatakan, “para saadah Ba’Aalawi dan orang-orang yang mengikuti perilaku mereka –dari orang-orang yang menjadikan mereka sebagai pedoman dan panutan—dilingkupi pertolongan Allah dan diperlihara dari penjagaannya. Mereka dapat memperoleh yang dicari dalam waktu singkat dengan syarat bersih hatinya, memiliki prasangka yang baik kepada Allah dan kepada makhluk , zuhud di dunia dan berharap akhirat, memrhatikan hak-hak bagi pemiliknya, mengagungkan ilmu, ulama, para wali, dan kaum mukminin. Dan mereka menjaga hati dan pendengaran, serta memelihara dari segala sesuatu yang dapat memasukkan gangguan atas mereka, merintangi mereka dari beramal, dan menghapus hati mereka dari akhlak yang terpuji. Hal itu dilakukan agar hati mereka tetap bersih, suci , dan jernih. Jiwa mereka tenang, dan semangat mereka selalu berhubungan dengan kebaikan dan sebab-sebabnya. Demikianlah keadaan mereka.”

Namun sekarang keadaan saadah Bani Alawi sebagian besar telah menyimpang dari para pendahulunya. Mengenai ini selanjutnya Sayyidina al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Attas mengatakan, “dulu seorang Alwi itu, menggunakan tujuh tahun umurnya untuk menuntut ilmu dan tujuh tahun untuk mengajarkannya, dan setelah itu mereka menghamparkan tikar dan menghadap Tuhannya, dan mereka digantikan oleh yang lain. Sekarang di antara kalian ada yang berusia enam puluh atau tujuh puluh tahun, tapi tidak sampai belajar atau mengajar”
Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith katakan, “keadaannya memang seperti yang dikatakan oleh beliau ra. orang-orang di masa belakangan sekarangini tertinggal dari para salaf, dan ketertinggalan mereka dari para pendahulunya itu benar-benar suatu kehancuran.

Sayydina al-Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi mengatakan

“siapa tak menempuh jalan keluarganya ,akan bingung dan tersesat. Wahai keturunan Nabi, berjalanlah kalian dengan mengikutinya ikutilah selangkah demi selangkah dan jauhilah perbuatan bid’ah”

Selanjutnya beliau juga mengatakan,
“Pikiranku bingung, pula pikiran orang-orang yang serupa
Oleh keturunann suci menyimpang dari asal
Kesedihanku bertambah, tetapi tak tahu apa harus dikata
Pertolongan Allah semoga, kembalikan penyimpangan mereka”

Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad mengatakan dalam Tsabit al-Fuad mengatakan ,”salah seorang tokoh besar saadah mendengar seorang syarif mengatakan,’ayahku....kakekku...” maka ia berkata kepadanya, ‘jadilah engkau seperti ayah dan kakekmu. Jika tidak, maka engkau hanyalah selembar sorban dan gambar, yang tidak terdapat kemuliaan di dalamnya”

Beliau juga mengatakan dalam sebuah syair untuk menghilangkan sikap mengandalkan nasab,

“Berhati-hatilah engkau dari ucapan bodoh: “aku dan kamu berada dalam kemuliaan dan dalam keturunan mulia.” Beberapa kaum telah tertinggal dan mereka tak bertujuan mencapai kemuliaan, dan merasa cukup dengan ucapan, “Dia Ayahku.”

Alangkah bagusnya ucapan seseorang yang mengatakan :
“meskipun kedudukan kami mulia
Tidak pernah bersandar pada kemuliaan saja
Kami membangun sebagaimana pendahulu kami
Dan kami lakukan seperti mereka lakukan”

Al-Mutanabbi mengatakan :
“apabila seorang syarif tidak seperti datuknya
Maka apa kelebihan dari ketinggian kedudukannya
Jika seorang Alwi tak seperti Imam Ja’far layaknya
Maka dia hanya menjadi hujjah bagi kaum Nashibi”

Al-Imam Ahmad bin Umar bin Sumaith mengatakan
“barangsiapa memiliki harga diri
Tak cukup baginya ucapan. “dia ayahku”
Pemuda bukanlah yang merasa cukup
dan tertipu dengan nasab
ia tinggalkan sebab-sebab keberhasilan
menggantinya dengan kerusakan nyata
karena berharap harta dan kedudukan semata
tak punya keahlian dan bodoh pula
sesungguhnya pemuda yang teladannya
Al-Mushtafa, Nabi terbaik dari semua”

Diriwayatkan bahwa sekelompok saadah berkumpul membaca kitab al-Masyra’ar-Rawi. Mereka bersama seseorang dari kalangan masyarakat umum. Setelah dibacakan kitab tersebut, ia berkata kepada mereka, “mereka itu (tokoh-tokoh yang disebutkan dalam kitab itu) keluarga siapa?” para Saadah menjawab “mereka keluarga kami.” Kemudian orang itu mengatakan, “segala puji bagi Allah karena mereka bukan keluargaku.” Para Saadah berkata.”seandainya mereka keluargamu niscaya itu lebih baik bagimu”. Orang itu menjawab, “seandainya mereka keluargaku, niscaya aku sangat malu dan bumi terasa sempit bagiku karena amalku tidak seperti mereka.” Ucapan orang tersebut menyadarkan dan memberi pelajaran bagi mereka yang mendengarnya. Mereka kemudian bersungguh-sungguh dan berusaha keras menuntut ilmu dan beramal sesuai dengan thariqah para pendahulu mereka. Demikian yang disebutkan oleh Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi.




Tulisan di atas saya kutip dari kitab Al-Manhaj as-Sawiy,
Syarh Ushul Thariqah as-Saadah Al-Ba’Alawi,
karangan Al-Allamah Al-Muhaqqiq ad-Da’i Ilallah
Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan Judul THARIQAH ALAWIYAH.
Buku ini baik untuk dimiliki bagi seluruh Saadah Bani Alawi ....

0 komentar: