Sabtu, 29 Maret 2008

"BUKAN CINTAKU YANG SALAH"


Sekali lagi kupandangi jalan raya di depanku. Rasanya lumayan indah kalau dilihat dari atas, namun aku agak mual. Aku menundukkan kepalaku kembali. Mencoba melupakan semua yang telah terjadi.

……………………..

Wajahnya tampan. Ah, aku tak boleh memandanginya terlalu lama. Yusuf, pemuda itu sedang berbincang-bincang dengan abangku di sudut ruangan.
Aku tak bisa membohongi diriku sendiri, kalau sebenarnya, aku ingin mencuri-curi pandang. Tapi…’uupss..dia memergokiku, pandangan kami saling beradu, namun aku kalah. Kembali kutundukan wajah.

Lama sekali. Yusuf dan abangku belum selesai mengobrol. Kutunggu lagi. Sekitar sepuluh menit akhirnya mereka menghampiriku.
“lama, ra?” Tanya kak Ikhsan sambil merangkulku.
“yah…lumayan” jawabku sambil mendengus.
Yusuf hanya tersenyum.
“oh iya, Noura, kenalkan ini sahabat kakak selama di Malaysia. Namanya Yusuf. Yusuf, ini adik tunggalku, Noura”

…………………….

Aku tertawa, tidak lucu, namun berkesan. Aku ingat, sepulang dari acara reuni itu aku tak bisa tidur, setengah malam ku habiskan dengan khayalan, sesekali aku senyum-senyum sendiri. Aneh, padahal sebelumnya aku tak pernah seperti itu.
Aku menggeser tubuhku kebelakang, matahari senja menyilaukan mataku.

…………………….

Aku bergegas menuruni tangga sambil berlari. Setelah ku dengar seseorang yang sangat ku nanti akhirnya datang juga, walaupun sebenarnya bukan untuk menemuiku. Aku menguping di balik tangga, setelah kulihat kak Ikhsan dan Yusuf sedang mengobrol di ruang keluarga.
Tapi, aku tak dapat mendengar percakapan mereka. Dari pada seperti orang gila disini, lebih baik aku kembali ke kamar.

Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan di balik pintuku. Kak Ikhsan.
“masuk kak…!!”
Kak Ikhsan masuk, menghampiriku lalu duduk di sudut ranjang.
“lagi ngapain?”
“nggak ngapa-ngapain, kenapa kak?” jawabku sambil menutup novel yang ku beli kemarin.
“aduuh…gimana ngomongnya ya?”
Ku dengar kak Ikhsan setengah berbisik.
“ada apa sih kak?”
“ng…anu, tadi Yusuf kesini, dia ngasih tau kalo kakak di panggil ngajar di Malaysia, nan…”
“jadi?”
“ng…mau nggak mau kakak harus ninggalin kamu lagi”
Aku langsung memandang kak Ikhsan “kak, kakak baru pulang sebulan!, trus sekarang mau pergi lagi?”
“yah, mau gimana lagi, ini udah tugas kakak! Kamu kan udah dewasa, seharusnya kamu ngerti”
“iya, selalu aku yang harus ngerti, aku, aku terus!! Kakak ingat gak, kakak ninggalin aku waktu aku umur sepuluh tahun, gak lama setelah ibu sama ayah meninggal! Kakak ninggalin aku sendirian Cuma sama mbak Afni, tukang sayur langganan yang kakak gaji buat ngurus aku kan!!?”
“NOURA! Siapa yang ngajar kamu kasar begitu?”
Aku diam.
“kakak ngerti perasaan kamu, makanya kakak hanya setahun disana, karena nggak mungkin kamu ikut pindah, karna disini kamu udah jadi penulis terkenal. Kamu tenang aja, kakak udah suruh Yusuf yang jagain kamu selama kakak nggak ada”
“Yusuf?” tanyaku memastikan
Kak Ikhsan mengangguk “tapi..tentunya bukan dia sendiri, nanti dia ajak adiknya juga”

………………………

Matahari senja telah tenggelam sejak tadi. Aku masih betah menatap langit yang hitam tanpa bintang. Dari atas sini, mobil-mobil yang lalu lalang terlihat begitu kecil, bahkan suara klaksonnya tak terdengar sama sekali.

………………………..

Aku melambaikan tangan pada kak Ikhsan untuk yang terakhir kalinya ketika mobil keluar dari halaman rumah. Air mataku menitik lagi. Aku belum sepenuhnya melepas rindu pada abangku itu. Dia memang sangat mencintai pekerjaannya.

Aku membalikkan badan, Yusuf berdiri di samping tiang rumah. Ia tersenyum padaku.
Aku merasa masih asing padanya.
“Ikhsan cerita, kau tahu, dia sampai nangis. Katanya sangat berat rasanya ninggalin kamu lagi”
Oh ya? Kak Ikhsan nangis? Yang benar saja. Aku lantas tertawa membayangkannya.

Tidak butuh waktu sehari, Yusuf telah membuatku merasa akrab dengannya.


……………………….

Rasanya ususku melilit erat, aku sangat lapar. Dari kemarin aku belum makan.
dingin malam menembus kulitku, kerudungku hampir terbuka dihempas angin.
kepalaku pusing. Aku malas mengingat lagi.

…………………………

Ternyata adik Yusuf tidak dapat ikut tinggal disini. Katanya di desa ibunya sedang sakit keras, walaupun ingin, Yusuf tidak bisa menyusul ke kampung karena ia masih punya amanat untuk menjagaku.
setelah Yusuf menelpon, ternyata ibunya sudah baikan. Tapi adiknya harus tetap disana untuk menjaga-jaga kemungkinan sakit ibunya kambuh lagi.

“kamu udah makan?”

“……………….”

“Noura, kamu udah makan?”

“Noura?”

Suara yusuf membuyarkan lamunanku. “eh, iya kenapa?”
“kamu ngelamun?”
Aku menggeleng, salah tingkah.
“udahlah, kamu pasti lagi mikirin Ikhsan ya? Kamu kangen kan sama dia?”
Aku menunduk, kemudian mengangguk.
Yusuf tersenyum. “ooh..kirain lagi mikirin pacar kamu”
Aku melotot padanya, ku lihat dia hanya cengengesan.
“maaf, aku hanya bercanda, emang kenapa sih kalo mikirin pacar. Kangen kan wajar”
“enak aja! Aku nggak punya pacar!”
“kenapa?”
“yaa..aku gak mau pacaran”
“bagus deh”
“hah?”
“eh..enggak…”
“kalo kamu?” tanyaku balik.
Yusuf menggeleng “aku lagi nyari calon istri, pacaran takutnya malah bikin dosa. Nah..pacarannya setelah nikah kan lebih aman, iya gak?”
Aku tertawa kecil.

………………………..

Ciih…Aku meludah. Ku pandangi langit sekali lagi, ternyata bintang telah banyak bermunculan. Aku ingin melupakan semuanya, semuanya. Termasuk kebencianku.

………………………..

Hari demi hari semenjak kak Ikhsan pergi kulalui sendiri, tentunya ditemani Yusuf. Yusuf sudah ku anggap seperti kakakku sendiri. Sifatnya, perilakunya, mungkin, karena dia dan kak Ikhsan berteman dekat. Tapi kurasa, dia lebih humoris daripada kak Ikhsan.

“kenapa Ra?” Yusuf menghampiriku sambil meyodorkan sepiring nasi goring.
“ini…mbak Afni, sampe sekarang gak pulang-pulang dari kampung. Nyebelin banget”
“siapa mbak Afni?”
“ng…siapa ya?” aku mengernyitkan dahi.
“lha kok nanya balik?”
“itu, dia tinggal disini, buat temenin aku”
“oh..aku ingat, kalo gak salah Ikhsan pernah cerita”

Aku duduk di sofa sambil mencicipi nasi goreng.
Yusuf duduk di sofa yang lain.
Sebenarnya perasaanku tak enak, aku dan Yusuf tinggal berdua dalam satu atap. Aku ingin mengadukan ini pada kak Ikhsan, tapi entah mengapa nomornya sulit dihubungi. Terakhir ia sms sekali, katanya akan telpon tiap minggu. Tapi sekarang sudah hampir dua bulan berlalu. Sama sekali tak ada kabar darinya.

Aku teringat kejadian pagi tadi.
Aku keluar kompleks, menghampiri penjual sayur yang sedang di kerubuti para pembeli.
“beli apa nih neng?” Tanya mang Raziq, si penjual.
Aku lantas memberikan daftar belanjaan.
“eh, Noura denger-denger si Ikhsan balik ke Malaysia lagi ya?” Tanya Tante Mira padaku.
Aku hanya mengangguk.
“trus, siapa yang nemenin kamu dirumah? Mbak Afni udah balik?” sambung Bu Yayat.
Ng..mbak Afni belum pulang, dirumah aku ditemenin sama Yusuf, temennya kak Ikhsan”
“temennya Ikhsan, berdua aja?”
Aku mengangguk “tapi..”
Kulihat ibu-ibu itu saling pandang, ada yang saling sikut.
“ada apa bu?” tanyaku keheranan.
“Noura, apa nggak bahaya tinggal berdua aja sama lai-laki yang bukan muhrim?”
Aku cepat memotong “enggak bu, sebenarnya Yusuf dengan adiknya yang nemenin aku dirumah, Cuma adiknya gak bisa. Ini aja aku lagi nungguin mbak Afni pulang”
“iya, tapi hati-hati aja. Sebaiknya panggil teman kamu, kan nggak baik kalau ntar jadi omongan orang sekomplek” kata Tante Mira.
“iya tan..” jawabku. Setelah mengambil belanjaan, aku langsung berjalan cepat ke rumah.

Aku menatap Yusuf. Rasanya dia sangat polos ketika sedang makan. Tak sadar aku tertawa.

“kenapa Ra?” tanyanya keheranan.
Aku menggeleng, menahan ketawa.
“ngetawain aku ya?” matanya melotot.
“enggak, geer!” tawaku makin keras.

Hening
“Noura, kamu kangen gak sama Ikhsan?” Tanya Yusuf. Tampangnya serius.
Aku menggeleng “enggak”
Ia sedikit melonjak dari kursi “hah..masa? aku aja kangen! Masa kamu adiknya enggak?”
Aku kembali tertawa “ya iyalah..bego banget sih nanya--nya”

“kamu tau gak ra, Ikhsan itu udah aku anggap sodara kandungku sendiri” Yusuf membuka cerita “waktu di Malaysia. Kita seasrama, sekamar, sekasur kadang-kadang, tapi aku agak gimana….gitu kalo sekasur sama ikhsan”
“kenapa?” tanyaku penasaran.
“abisnya, dia suka ngorok sih! Mirip kebo! Hehehe…”
“ahahaahaha”
“trus-trus?”
“pokoknya kemana-mana kita sama-sama terus, sampe sikat gigi juga..”
“dipake sama-sama?” potongku.
“enggak, maksudnya patungan belinya”
“ooohh…,trus-trus?”
“oh iya, tapi pas naik semester enam, kita gak terlalu akrab lagi…”
“lho? Kenapa?”
Karena keasikan, aku tak sadar sudah pindah ke sofanya yusuf.
“abisnya..pertama, ikhsan pindah ke apartemen Candra, temanku juga sih, kan dia kerja part time, jadi pilih tempat tinggal yang dekat”
“ooh…iya, kak ikhsan pernah ngasih tau aku, trus?”
“trus, yang kedua, ikhsan udah sibuk. Tau sibuk ngapain?”
Aku menggeleng “enggak”
Yusuf cengengesan “sibuk nguber adik kelas. Namanya Hanun, uh..pokoknya gak siang gak malam, Hanun mulu”
“hah? Masa iya? Kok kak Ikhsan gak pernah cerita ya?”
Yusuf menepuk jidatnya “waduh! Aku lupa! Ini kan rahasia!”
“huahahahahaha” aku terbahak.
“aduuh…keceplosan deh, Ra, ntar jangan bilang ke ikhsan ya, kalo aku yang ngasih tau”
“hehehehe….tenang aja!”


…………………………..

Air menitik di pipiku. Gerimis. Bintang-bintang mulai menghilang tertutup awan hitam.
Rasanya semakin dingin. Mataku mulai berat. Perutku mual sekali.
Aku ingin muntah, tapi isi perutku rasanya tak ada lagi.

…………………………….


“menurut kamu, kenapa sih, kak Ikhsan bisa naksir ama Hanun?”
Yusuf terlihat sedang berfikir “menurut yang aku tahu, Hanun itu cantik, baik, pinter, penyayang, terutama sama anak kecil, makanya Ikhsan jatuh cinta. Pokoknya, Hanun tu tipenya banget deh!”
“kalau tipe kamu?” candaku.


Yusuf sangat lama terdiam.

Aku masih menunggu jawabannya



“yang kayak kamu”


Hening.
Yusuf beringsut mendekat. “Noura, aku gak tahu, kapan aku punya kesempatan ini”
Aku menggeser mundur.
“Noura, sebenarnya dari awal aku jatuh cinta sama kamu, semenjak pertama kita ketemu, aku gak bisa ngelepas banyangan tentang kamu”
Aku sadar, situasinya gak bagus. Aku beranjak dari kursi.
“Noura, tolong, kasih aku kesempatan bicara”
aku kembali duduk disampingnya. Entahlah, aku tak tahu apa yang membuatku tidak jadi pergi.
“Noura, aku sayang sama kamu, dan aku sangat yakin. Pendamping hidup yang selama ini aku cari adalah kamu. Noura, aku ingin kamu jawab yang sejujurnya, gimana perasaanmu ke aku selama ini?”
Wajah Yusuf serius sekali. Aku tahu, dia tak bercanda seperti biasa.
Jantungku berdegup kencang. Aku tak tahu, aku harus menjawab ini atau tidak.
“aku juga mencintaimu Yusuf”

…………………………

Aku ingin berteriak. Gerimisnya telah reda. Namun bintang-bintang tak jua bermunculan. Aku kesepian berada di atas sini. Ingin rasanya ke benturkan kepalaku, agar aku tak mengingat semua ini.
………………………….

Telpon berdering berkali-kali
Rasanya setengah sadar, yang ku lihat seperti di mimpi. Wajahnya, lalu bibirnya, tangannya..rasanya samar kulihat. Yang ku tahu, aku sekarang ada di pelukan Yusuf
Kerudungku perlahan-lahan lepas.
Lalu semuanya terjadi.

…………………………

Air mataku menetes. Aku tak sanggup mengingat lagi. Tubuhku rasanya tercabik-cabik. Aku benci…benci!

………………………….

“maafkan aku Noura”

Yusuf duduk jauh di sampingku.
Pakaianku tergantung di meja.
Kulihat kerudungku, jatuh dilantai.
Aku langsung menangis sejadi-jadinya.

…………………………

HP-ku sejak tadi berdering. Aku tak gubris, siapapun yang menelponku. Karena aku ingin sendiri.
Aku kesal karena selalu terbayang wajah si muafik itu, entahlah. Dia yang munafik atau aku? Yang pasti rasanya aku sekarang rapuh seperti puing bangunan.
Aku ingat almarhumah ibuku, ayahku.
Dan kak Ikhsan.
Kak Ikhsan yang sangat menyayangiku.
Ya ALLAH! Hukum saja aku!!

Aku mencoba berdiri di sudut bangunan ini, kepalaku pusing. Mataku mengitari semua penjuru, lampu-lampu, mobil-mobil dibawah sana, awan hitam, dan bintang-bintang yang mulai bermunculan. Aku ingin melihat itu untuk yang terakhir kalinya.
Air mataku telah habis.

Ku ayunkan kakiku ke depan, dan ku pejamkan mata.

Ku rasakan aku tak lagi menginjak tanah.

Rasanya cukup lama. Mengambang.

Seketika, rasanya sungguh perih. Ku dengar gemuruh keributan di sekelilingku.

Aku ingin mati sambil tersenyum, namun tak bisa.







WRITER: R@GWan



0 komentar: