Kamis, 30 April 2009

HIJAB, Mengapa Tidak Kau Kenakan?

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur:31)

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Ahzab:59

QS. An-Nur:31 yang mulia di atas memberikan batas yang jelas tentang orang-orang yang menjadi muhrim bagi seorang wanita, yang boleh menampakkan perhiasan (bagian badan tempat perhiasan) kepadanya, tanpa maksud pamer dan menyombongkan diri, dan sekaligus perintah untuk menggunakan khimar (kerudung), sementara QS. Al-Ahzab:59 menegaskan mengenai perintah berjilbab (menggunakan baju kurung yang tidak sempit yang menutupi seluruh tubuh)
Namun, apa yang menghalangi ukhti sehingga enggan menggunakannya?


• BELUM MANTAP
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

Jika ukhti percaya dan beriman bahwa Allah Maha Bijaksana dan lebih mengetahui penetapan hokum dari padanya, maka jika telah datang perintah Allah tidak ada lagi pilihan baginya kecuali mentaati perintah tersebut. Ketika mendengar perintah Allah tidak ada lagi pilihan baginya kecuali mentaatinya.
الْمَصِيرُ وَإِلَيْكَ رَبَّنَا غُفْرَانَكَ وَأَطَعْنَا سَمِعْنَا وَقَالُوا
mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (Al-Baqarah: 285)
ketika Allah memerintahkan kita dengan suatu perintah, Dia Maha mengetahui bahwa perintah itu untuk kebaikan kita. Demikian pula ketika memerintahkan wanita untuk berhijab, Dia Maha Mengetahui bahwa itulah sebab tercapainya kebahagiaan, kemuliaan, dan keagungan wanita.
Dengan kepercayaan seperti ini, apakah patut dan masuk akal kita menolak perintah Allah yang Maha Luas ILMU-Nya? Lalu kita menerima perkataan manusia atau teman-teman yang mengajak tanpa di dasari ilmu dan tanpa memikirkan kebaikan di baliknya.

ukhti, jangan terjerumus pada pertentangan.
Ketika engkau menasehati sebagian ukhti yang belum berhijab, sebagian mereka ada yang menjawab : “saya juga seorang muslimah, selalu menjaga shalat lima waktu, dan sebagian shalat sunnah, puasa ramadhan, aktif di organisasi social, tapi saya belum mantap berhijab”

Pertanyaan buat ukhti:
Kalau memang ukhti sudah melakukan amalan terpuji, yang berpangkal dari iman dan ketakutan atas siksa-nya jika meninggalkan itu, mengapa ukhti beriman kepada sebagian dan tidak beriman kepada sebagian yang lain? Padahal sumber perintahnya adalah satu?
Sebagaimana shalat yang selalu ukhti jaga adalah suatu kewajiban, demikian juga halnya dengan hijab. Hijab itu wajib, dan kewajiban itu tidak diragukan adanya dalam Al-Qur’an dan sunnah.

• IMAN ITU LETAKNYA DI HATI

“sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk-bentuk lahiriahmu, tapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian” (HR.Muslim No: 2564 dari Abu Hurairah)

Iman tidak cukup hanya di dalam hati, Iman dalam hati semata tidak cukup untuk menyelamatkan diri dari neraka dan mendapatkan surge.
Devinisi iman menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah : “keyakinan dalam hati,pengucapan dengan lisan, dan pelaksanaan dengan anggota badan”

kalau ukhti yang belum berhijab dengan alasan : Iman itu letaknya dalam hati, lalu andaikata seorang guru memintanya memnuat laporan, atau mengawasi murid-muris, atau memberi pelajaran ekskul, logiskah ia menjawab “ dalam hati, saya percaya, dan belum mantap terhadap yang diminta oleh kepala sekolah kepadaku, tetapi aku tidak mau melaksanakan yang dikehendaki dariku” apakah jawaban ini bisa diterima?
Ini sekedar contoh dalam kehidupan manusia, lalu bagaimana jika urusan itu berhubungan dengan Allah, Tuhan manusia yang memiliki sifat yang Maha Tinggi?

• ALLAH BELUM MEMBERIKU HIDAYAH
Pertanyaannya, “bagaimana ukhti tahu bahwa Allah belum memberi ukhti hidayah?”
Allah telah menerangkan dalam kitab-Nya, bahwa hidayah itu ada dua macam. Masing-masing adalah hidayah dilalah dan hidayah taufiq.

1. Hidayah Dilalah
Ini adalah bimbingan atau petunjuk pada kebenaran. Dalam hidayah ini, terdapat campur tangan dan usaha manusia, di samping hidayah Allah dan bimbingan Rasul-Nya. Allah telah menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia yang mukallaf, juga dia telah menunjukkan jalan kebatilan yang menyimpang dari petunjuk para rasul dan kitabnya. Para rasul pun telah menerangkan jalan ini pada kaumnya. Begitu pula para da’i. mereka semua menerangkan jalan ini kepada manusia. Jadi semua ikut ambil bagian dalam hidayah ini.

2. Hidayah Taufiq
Hidayah ini hanya milik Allah semata, tidak ada sekutu baginya (dalam pemberi hidayah taufiq ini). Ia berupa peneguhan kebenaran dalam hati, penjagaan dari penyimpangan pertolongan agar tetap meniti dan istiqomah di jalan kebenaran. Pendorong pada kecintaan iman. Pendorong pada kebencian terhadap kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
Hidayah taufiq ini diberikan kepada orang yang memnuhi panggilan Allah dan mengikuti petunjuk-nya. Jenis hidayah ini datang sesudah hidayah dilalah. Sejak awal, dengan tidak pilih kasih, Allah memperlihatkan kebenaran kepada semua manusia. Allah berfirman:

“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-fushshilat:17)


Dan untuk itu, Allah menciptakan potensi dalam diri setiap orang mukallaf untuk memilih antara jalan kebenaran dan jalan kebatilan. Jika dia memilih jalan kebenaran menurut kemauannya sendiri maka hidayah taufiq akan datang kepadanya. Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (QS.Muhammad:17)

Jika dia memilih kebatilan menurut kemauannya sendiri, maka Allah akan menambahkan kesesatan padanya dan Dia mengharamkannya mendapat hidayah taufiq. Allah berfirman:

“Katakanlah: "Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepadanya, baik siksa maupun kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-penolongnya". (QS.Maryam:75)

adapun sunnatullah dalam perubahan nasib, hanya akan terjadi jika manusia memulai dengan mengubah terlebih dahulu dirinya sendiri, lalu mengupayakan sebab-sebab perubahan yang dimaksudnya. Allah berfirman :
“sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Ar-Rad: 11)

Maka orang yang menginginkan hidayah, serta menghendaki agar orang lain mendoakan dirinya, ia harus berusaha keras dengan sebab-sebab yang menghantarkannya mendapat hidayah tersebut.


karena itu, wahai ukhti, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya ukhti mendapatkan hidayah itu dengan izin Allah swt. Di antara usaha itu adalah berdoa agar mendapatkan hidayah, memilih teman yang shalihah, selalu membaca, mempelajari kitab Allah dan sunnah, mengikuti majelis zikir, majelis ilmu dan ceramah agama, membaca buku tentang keimanan dan sebagainya. Tapi jangan lupa tinggalkan hal-hal yang bisa menjauhkanmu dari jalan hidayah. Seperti teman yang tidak baik, membaca majalah yang tidak mendidik, menonton tayangan TV yang tidak mendidik, pacaran, dan hal lain yang bertentangan dengan jalan hidayah.

Kita semua tahu, bahwa untuk istiqomah dalam ketaqwaan sangat tidak mudah. Tapi ukhti jangan putus asa untuk menjaga diri dari maksiat. Insya Allah, Allah melindungi kita dari godaan syaitan dan niat buruk manusia.

Untuk ukhtiku para syarifah cucu Baginda Rasulullah saw, kita mempunyai kewajiban lebih sebagai teladan bagi ukhti yang lain.. ingatlah akhlak mulia kakek kita Baginda Rasulullah, ingatlah air mata hababah Fatimah yang mengalir menyaksikan ahlul bait Rasulullah khususnya para syarifah yang seharusnya menjaga kemuliaan keturunan Rasulullah kini telah banyak mendurhakai Allah dan Rasulnya.

Penulis bukanlah manusia yang sempurna. Ini semua adalah bentuk kecintaan terhadap Rasul dan Ahlul baitnya, dan untuk semua muslimah agar tetap menjaga kehormataannya. karena sesungguhnya ajaran Islam adalah yang paling mulia, yang pertama-tama mengangkat derajat kaum wanita.
Wallahu a’lam bishawab.


sumber : Saudariku apa yang menghalangimu untuk berjilbab – Abdul Hamid AlBilaly

0 komentar: