Kamis, 30 April 2009

TENTANG KAFA'AH

Beberapa waktu lalu saya mengobrol dengan seorang bapak yang sekitar 40 tahun. Dia sempat curhat bahwa semasa muda ia pernah pacaran dengan gadis keturunan arab (bukan keturunan alawiyin). tapi hubungan itu terpaksa kandas karena si gadis harus menikah dengan lelaki yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Bapak itu merelakannya, namun, Ia menyebut hal itu sebagai diskriminasi. saya bingung, bagaimana harus menjelaskannya. karena keterbatasan ilmu saya saat itu, dan mungkin saja bapak itu tidak bisa terima bagitu saja. Hal ini memang cukup sensitif jika dibicarakan, karena kadang bisa menimbulkan ketersinggungan oleh orang yang bukan keturunan alawiyin, karena merasa dibeda-bedakan. oleh sebab itu, saya berinisiatif untuk mengemukakan masalah ini dengan mengutip dari sebuah sumber. semoga bermanfaat.
-----

Agama Islam secara umum menilai setiap manusia berdasarkan iman, ilmu, amal dan taqwanya. Namun Islam tidak pernah menafi'kan masalah keberadaan pertalian nasab dengan seseorang. Bahkan Islam menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang bertalian nasab kepada Nabi Muhammad saw. Apabila memperhatikan, mempelajari, dam memahami hadits-haditas Rasulullah mengenai Ahlul bait, wajar jika kita memelihara tali hubungan kefamilian dan pertalian nasab dengan Baginda Rasul, termasuk di dalamnya seorang syarifah yang diwajibkan menjaga dirinya serta keturunannya agar tetap bertalian dengan Rasulullah yang dikenal dengan kafa'ah.

Pemberlakuan kafa'ah bagi syarifah tidak dapat digolongkan sebagai adat juga bukan pula bersifat ashobiyah, sebab yang dapat digolongkan adat apabila tidak ada perintah atau larangan dalam syari'at. Banyak dalil-dalil dalam syari'at yang menunjukkan bahwa kafa'ah bukanlah adat. Di bawah ini akan di uraikan beberapa dasar hukum yang bertalian dengan masalah kafa'ah.

Para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafi'i dalam masalah kafa'ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan :"Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya (syarif).
menurut mazhab Syafi'i, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinannya dengan selain Bani Hayim, maka mere itu berdosa. Sebaliknya, Mazhab Maliki dan Imamiyah tidak mensyaratkan adanya kafa'ah dalam pernikahan. Menurut mereka sikap muslim yang baik adalah kufu' dengan wanita muslimah yang baik.

Seorang Ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah? Ibnu Timiyah menjawab : " kafa'ah dalam nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad-dalam salah satu riwayat darinya - kafa'ah adalah hak istri dan kedua orang tua. Maka apabila semua rela tanpa kufu, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah "hak Allah" dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaa'ah."

Dalam kitabnya Bughyatul Murtasyidin Al-Alamah Sayid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, yang sampai saat ini kitabnya dipelajari di pesantren-pesantren bahkan merupakan salah satu di antara buku standar di pengadilan agama, berkata : "Seorang Syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, amak aku tidak melihat diperbolhekannya pernikahan tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi saw dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah Az-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait tersebut.

Imam Ahmad bin Hambal berkata : "wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu', maka ia berhak membatalkannya. Bahwa wanita hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu', maka keridhaan mereka tidak sah"

Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi) dalam kitabnya Qawanin Syar'iyah, dikatakannya telah disebutkan dalam kitab Tarsyikul Muftadin Hasiyah Fathul Mu'in, yaitu : " maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait Nabi saw, sebaiknya menjauhkan diri dari menfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya rdha dan walinya yang dekatpun rida. Hal ini berlaku secara umum. tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid."

Sungguh patut disesalkan jika seseorang dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja menikahkan w anita tersebut tanpa seizin wali terdekatnya, apalagi tidak sekufu' (kawin lari). Tindakan tersebut meruapakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah saw dan menyakitinya apabila terjadi suatu perkawinan terhadap putri-putri keturunan beliau dengan tanpa pertimbangan kafa'ah terlebih dahulu, melallaikan amanat dan tidak memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau.
Sehubungan dengan itu, Allah swt berfirman dalam Al-Qur'an :
"tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah saw dan tidak boleh mengawini istri-istrinya selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah swt"
Dari ayat tersebut dapatlah kita pahami dan simpulkan, bahwa apabila istri-istri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk mengawini mereka karena dianggap akan mengganggu Rasulullah saw, dimana ikatan mereka dengan Rasul karena adanya hubungan pernikahan, apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung karena hubungan nasab, darah, dan kefamilian.
sebagai penutup, pahami sabda Rasulullah di bawah ini :
"maka mereka (Ahlul bait Nabi saw) adalah keturunanku, diciptakan (Allah swt) dari darah dagingku, dan dikaruniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah orang dari umatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada orang-orang seperti itu Allah tidak akan menurunkan syafa'atku."
(HR. Tabrani, Al-Hakim, Rafi'i, dan para ulama Islam dari berbagai mazhab : Imamiyah, Hanafi, Syafi'i, Maliki, Hanbali dan Mazhab Zaidiyah)

Bagaimana saudara memahami hadits ini? mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan Nabi SAW, kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak, dan tidak akan terputus nasab kalau bukan karena perkawinan syaraifnya dengan lelaki yang tidak senasab kepada Nabi saw.


-semoga kita diberi pemahaman dan petunjuk dari Allah SWT-


dikutip dari : Sekilas Tentang Kaum Alawiyin (Habaib) - Idrus Alwi

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Asslkm
lengkap,cukup buat pengetahuan orang awam like me.biar ngerti dasarnya, g cuma kolot:)
thx alot,nafa'naLLAH bihayatik.
wasslkm