Kamis, 30 April 2009

ISLAM MENGHENDAKI KETIDAKTOLERANSIAN dan EKSTREMISME SERTA ISTILAH “MUSLIM” TELAH MENJADI SINONIM DENGAN “TERORIS” ?

Ibarat membaca buku dengan tidak tuntas, beberapa kalangan khususnya non-muslim telah banyak berprasangka buruk terhadap Islam. Terutama setelah peristiwa 11 September (WTC).

Dan inilah jawaban mengenai tuduhan Islam sebagai agama teroris dan ekstrim:

“teks Al-Qur’an secara jelas melarang ketidaktoleransian dan ekstremisme:

دِينِكُمْ فِي تَغْلُوا ﻵ
“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu (An-Nisa-171)”

Umat Islam digambarkan sebagai bangsa yang adil:

وَيَكُونَ النَّاسِ عَلَى شُهَدَاءَ لِتَكُونُوا وَسَطًا أُمَّةً جَعَلْنَاكُمْ وَكَذَلِكَ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ الرَّسُولُ
“kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan (Al-Baqarah-143)

Allah swt juga memperingatkan kepada Nabi saw dan orang-orang mukmin untuk tidak melampaui batas :

تَعْمَلُونَ بِمَا إِنَّهُ تَطْغَوْا وَلا مَعَكَ تَابَ وَمَنْ أُمِرْتَ كَمَا فَاسْتَقِمْ بَصِيرٌ
“maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas (Hud-112)

Barang siapa berfikir secara dalam mengenai hikmah dan ajaran-ajaran Islam, maka akan benar-benar sadar bahwa mereka berada dalam prinsip-prinsip kemudahan dan keampunan. Allah swt berfirman:

الْعُسْرَ بِكُمُ يُرِيدُ وَلا الْيُسْرَ بِكُمُ اللَّهُ يُرِيدُ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (Al-Baqarah-185)”

Hal demikian juga bisa dilihat dalam tatacara peribadatan Islam seperti Shalat, puasa, zakat, dan haji yang menanamkan sifat-sifat mulia dan standart moral yang tinggi (penghormatan terhadap ikatan kekeluargaan, saling memaafkan, keadilan, kesabaran, dan saling membantu untuk tetap pada jalan yang benar) Allah swt Berfirman :

وَالْمُنْكَرِ الْفَحْشَاءِ عَنِ تَنْهَى الصَّلاةَ إِنَّ
“sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar (Al-Ankabut-45)

Diceritakan bahwa Nabi SAW bersabda : “puasa adalah perisai yang menjagamu dari perbuatan keji dan kebodohan. Jika ditantang untuk berkelahi, orang berpuasa harus menjawab dengan mengulangi dua kali “aku sedang berpuasa (HR.Bukhari).
Nabi saw juga menyatakan bahwa Allah swt menganggap sebagai suatu sedekah, yaitu perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menghilangkan rintangan yang membahayakan dari jalan, memohonkan berkah Allah untuk orang yang bersin (dengan mengucapkan Yarhamukallah/yarhamukillah), member salam dan menjawabnya dengan yang lebih baik dari yang ia terima. Harus dicatat disini, bahwa salam yang dipakai oleh umat Islam adalah Assalamu Alaikum (semoga keselamatan tetap padamu)
Bahkan, benar-benar bahwa ketika Nabi saw masih hidup, beberapa orang Muslim menyalahartikan ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa orang Muslim harus selalu mengabdikan hidupnya untuk beribadah, yang mengarah kepada kehidupan asketisme dan melepaskan kearunia dari dunia ini. Karena itu, Nabi saw harus menunjukkan kepada mereka tentang kesalahan yang dilakukan dan menjelaskan kepada mereka bahwa orang muslim yang terbaik adalah orang yang berusaha mendamaikan antara ibadah dan tugas-tugas dunianya.
Sesungguhnya inilah apa yang ditetapkan Al-Qur’an dalam ayat berikut:

الدُّنْيَا مِنَ نَصِيبَكَ تَنْسَ وَلا الآخِرَةَ الدَّارَ اللَّهُ آتَاكَ فِيمَا وَابْتَغِ
اللَّهُ إِنَّ الأرْضِ فِي الْفَسَادَ تَبْغِ وَلا إِلَيْكَ لا اللَّهَ أَحْسَنَ كَمَا وَأَحْسِنْ
الْمُفْسِدِينَ يُحِبُّ اللَّهَ

Pada kenyataannya, Islam datang untuk menegakkan keseimbangan dan kesejajaran setelah ekstremisme yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi ketika mereka menolak alam dengan melarang apa yang telah diperbolehkan dan disenangi Allah dalam persoalan-persoalan dunia dan dalam kebohongan dan kepalsuan untuk mengumpulkan keuntungan. Islam juga datang untuk memperbaiki ekstremisme yang dilakukan oleh orang-orang Kristen ketika mereka melampaui kehendak Tuhan dan menetapkan pada rahibnya sebuah kehidupan kematangan, pengasingan, dan pengabdian sepenuhnya untuk beribadah. Allah menyatakan bahwa :

لِعِبَادِهِ أَخْرَجَ الَّتِي اللَّهِ زِينَةَ حَرَّمَ مَنْ قُلْ
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya (Al-A’raaf-32)

Jadi, telah jelas bahwa ekstremisme dan ketidaktoleran tidak ditetapkan oleh agama, tetapi sebaliknya, hal itu diakibatkan oleh konseptualisasi yang salah atau tidak lengkap. Nabi Saw telah mencatat bahwa orang ekstremis bisa menjadi tidak beragama (kafir) sebagai akibat dari penafsiran yang tidak benar dan bacaan-bacaan yang ia buat mengenai agamanya.

Abi Said Al-Khudry meriwayatkan bahwa : “ketika Nabi saw sedang membagikan bagian, Abdullah ibn al-Khuwaisyira al-Tamimi datang dan berkata : ‘jujurlah wahai Nabi! Siapa yang lebih jujur dan adil daripada aku?’ terhadap hal ini Umar ibn Khattab berkata : ‘wahai Nabi! Biarkan aku memotong lehernya!’ kemudian Nabi saw bersabda : ‘biarkan dia!ada seorang seperti dia yang memulai jalan yang benar, ajlan sebuah anak panah yang menyimpang dari haluannya *Bukhari telah meriwayatkan bahwa telah terjadi konsesnsus tentang keshahihan dari ucapan ini*
Ini berarti bahwa mereka menjadi terlalu kokoh dalam ketaatan ibadahnya, tetapi mereka tidak mengerti signifikasi dan esensinya. Terlebih dari itu, mereka bahkan tidak menyadari bahwa sikap yang baik merupakan esensi dari setiap ibadah.

Mengenai dugaan terorisme, yang mana telah melekat dalam Islam, hal ini digambarkan berdasarkan tindakan sangat sedikit orang atau kelompok yang bersembunyi di balik topeng agama, dan Islam tidak menyetujui jenis orang ini. Sebenarnya, tidak pernah diceritakan bahwa para sahabat Nabi saw atau para khalifah ortodok pernah membunuh seorang non-muslim yang damai atau mencoba menyuruhnya masuk Islam di bawah ujung pedang. Juga tidak pernah diketahui bahwa diantara mereka membunuh seorang muslim karena dia mempertahankan pendapat yang berbeda atau mengikuti golongan yang berbeda. Yang dikatakan Al-Qur’an tentang ini:
النَّاسَ قَتَلَ فَكَأَنَّمَا الأرْضِ فِي فَسَادٍ أَوْ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسًا قَتَلَ مَنْ
جَمِيعًا النَّاسَ أَحْيَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَاهَا وَمَنْ جَمِيعًا
“barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (Al-Maidah-32)

Islam juga mendorong orang Muslim untuk memperlakukan orang non-muslim dengan perbuatan yang baik dan berlaku adil :
دِيَارِكُمْ مِنْ يُخْرِجُوكُمْ وَلَمْ الدِّينِ فِي يُقَاتِلُوكُمْ لَمْ الَّذِينَ عَنِ اللَّهُ يَنْهَاكُمُ ﻻ
" Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahanah-8)

Sebenarnya, terorisme telah menjadi fenomena Internasional, yang mana setiap masyarakat dan agama menderita karenanya. Terorisme adalah musuh Islam yang berusaha keras untuk menjadikannya Nampak seolah-olah masyarakat Muslim adalah satu-satunya yang menciptakan para teroris. Tuduhan seperti itu sama sekali tidak ditemukan. Terdapat lebih dari satu milyar umat Islam yang hidup damai di seluruh dunia dan yang bermaksud bersungguh-sungguh untuk menjamin keamanan dan stabilitas social, karena mereka mengetahui bahwa prinsip-prinsip pokok dari agamanya adalah berdasarkan pada perdamaian dan toleransi

Sumber :Islam Agama Teroris? – Dr. Ahmad Shalabi , dkk

HIJAB, Mengapa Tidak Kau Kenakan?

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur:31)

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Ahzab:59

QS. An-Nur:31 yang mulia di atas memberikan batas yang jelas tentang orang-orang yang menjadi muhrim bagi seorang wanita, yang boleh menampakkan perhiasan (bagian badan tempat perhiasan) kepadanya, tanpa maksud pamer dan menyombongkan diri, dan sekaligus perintah untuk menggunakan khimar (kerudung), sementara QS. Al-Ahzab:59 menegaskan mengenai perintah berjilbab (menggunakan baju kurung yang tidak sempit yang menutupi seluruh tubuh)
Namun, apa yang menghalangi ukhti sehingga enggan menggunakannya?


• BELUM MANTAP
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

Jika ukhti percaya dan beriman bahwa Allah Maha Bijaksana dan lebih mengetahui penetapan hokum dari padanya, maka jika telah datang perintah Allah tidak ada lagi pilihan baginya kecuali mentaati perintah tersebut. Ketika mendengar perintah Allah tidak ada lagi pilihan baginya kecuali mentaatinya.
الْمَصِيرُ وَإِلَيْكَ رَبَّنَا غُفْرَانَكَ وَأَطَعْنَا سَمِعْنَا وَقَالُوا
mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (Al-Baqarah: 285)
ketika Allah memerintahkan kita dengan suatu perintah, Dia Maha mengetahui bahwa perintah itu untuk kebaikan kita. Demikian pula ketika memerintahkan wanita untuk berhijab, Dia Maha Mengetahui bahwa itulah sebab tercapainya kebahagiaan, kemuliaan, dan keagungan wanita.
Dengan kepercayaan seperti ini, apakah patut dan masuk akal kita menolak perintah Allah yang Maha Luas ILMU-Nya? Lalu kita menerima perkataan manusia atau teman-teman yang mengajak tanpa di dasari ilmu dan tanpa memikirkan kebaikan di baliknya.

ukhti, jangan terjerumus pada pertentangan.
Ketika engkau menasehati sebagian ukhti yang belum berhijab, sebagian mereka ada yang menjawab : “saya juga seorang muslimah, selalu menjaga shalat lima waktu, dan sebagian shalat sunnah, puasa ramadhan, aktif di organisasi social, tapi saya belum mantap berhijab”

Pertanyaan buat ukhti:
Kalau memang ukhti sudah melakukan amalan terpuji, yang berpangkal dari iman dan ketakutan atas siksa-nya jika meninggalkan itu, mengapa ukhti beriman kepada sebagian dan tidak beriman kepada sebagian yang lain? Padahal sumber perintahnya adalah satu?
Sebagaimana shalat yang selalu ukhti jaga adalah suatu kewajiban, demikian juga halnya dengan hijab. Hijab itu wajib, dan kewajiban itu tidak diragukan adanya dalam Al-Qur’an dan sunnah.

• IMAN ITU LETAKNYA DI HATI

“sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk-bentuk lahiriahmu, tapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian” (HR.Muslim No: 2564 dari Abu Hurairah)

Iman tidak cukup hanya di dalam hati, Iman dalam hati semata tidak cukup untuk menyelamatkan diri dari neraka dan mendapatkan surge.
Devinisi iman menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah : “keyakinan dalam hati,pengucapan dengan lisan, dan pelaksanaan dengan anggota badan”

kalau ukhti yang belum berhijab dengan alasan : Iman itu letaknya dalam hati, lalu andaikata seorang guru memintanya memnuat laporan, atau mengawasi murid-muris, atau memberi pelajaran ekskul, logiskah ia menjawab “ dalam hati, saya percaya, dan belum mantap terhadap yang diminta oleh kepala sekolah kepadaku, tetapi aku tidak mau melaksanakan yang dikehendaki dariku” apakah jawaban ini bisa diterima?
Ini sekedar contoh dalam kehidupan manusia, lalu bagaimana jika urusan itu berhubungan dengan Allah, Tuhan manusia yang memiliki sifat yang Maha Tinggi?

• ALLAH BELUM MEMBERIKU HIDAYAH
Pertanyaannya, “bagaimana ukhti tahu bahwa Allah belum memberi ukhti hidayah?”
Allah telah menerangkan dalam kitab-Nya, bahwa hidayah itu ada dua macam. Masing-masing adalah hidayah dilalah dan hidayah taufiq.

1. Hidayah Dilalah
Ini adalah bimbingan atau petunjuk pada kebenaran. Dalam hidayah ini, terdapat campur tangan dan usaha manusia, di samping hidayah Allah dan bimbingan Rasul-Nya. Allah telah menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia yang mukallaf, juga dia telah menunjukkan jalan kebatilan yang menyimpang dari petunjuk para rasul dan kitabnya. Para rasul pun telah menerangkan jalan ini pada kaumnya. Begitu pula para da’i. mereka semua menerangkan jalan ini kepada manusia. Jadi semua ikut ambil bagian dalam hidayah ini.

2. Hidayah Taufiq
Hidayah ini hanya milik Allah semata, tidak ada sekutu baginya (dalam pemberi hidayah taufiq ini). Ia berupa peneguhan kebenaran dalam hati, penjagaan dari penyimpangan pertolongan agar tetap meniti dan istiqomah di jalan kebenaran. Pendorong pada kecintaan iman. Pendorong pada kebencian terhadap kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
Hidayah taufiq ini diberikan kepada orang yang memnuhi panggilan Allah dan mengikuti petunjuk-nya. Jenis hidayah ini datang sesudah hidayah dilalah. Sejak awal, dengan tidak pilih kasih, Allah memperlihatkan kebenaran kepada semua manusia. Allah berfirman:

“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-fushshilat:17)


Dan untuk itu, Allah menciptakan potensi dalam diri setiap orang mukallaf untuk memilih antara jalan kebenaran dan jalan kebatilan. Jika dia memilih jalan kebenaran menurut kemauannya sendiri maka hidayah taufiq akan datang kepadanya. Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (QS.Muhammad:17)

Jika dia memilih kebatilan menurut kemauannya sendiri, maka Allah akan menambahkan kesesatan padanya dan Dia mengharamkannya mendapat hidayah taufiq. Allah berfirman:

“Katakanlah: "Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepadanya, baik siksa maupun kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-penolongnya". (QS.Maryam:75)

adapun sunnatullah dalam perubahan nasib, hanya akan terjadi jika manusia memulai dengan mengubah terlebih dahulu dirinya sendiri, lalu mengupayakan sebab-sebab perubahan yang dimaksudnya. Allah berfirman :
“sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Ar-Rad: 11)

Maka orang yang menginginkan hidayah, serta menghendaki agar orang lain mendoakan dirinya, ia harus berusaha keras dengan sebab-sebab yang menghantarkannya mendapat hidayah tersebut.


karena itu, wahai ukhti, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya ukhti mendapatkan hidayah itu dengan izin Allah swt. Di antara usaha itu adalah berdoa agar mendapatkan hidayah, memilih teman yang shalihah, selalu membaca, mempelajari kitab Allah dan sunnah, mengikuti majelis zikir, majelis ilmu dan ceramah agama, membaca buku tentang keimanan dan sebagainya. Tapi jangan lupa tinggalkan hal-hal yang bisa menjauhkanmu dari jalan hidayah. Seperti teman yang tidak baik, membaca majalah yang tidak mendidik, menonton tayangan TV yang tidak mendidik, pacaran, dan hal lain yang bertentangan dengan jalan hidayah.

Kita semua tahu, bahwa untuk istiqomah dalam ketaqwaan sangat tidak mudah. Tapi ukhti jangan putus asa untuk menjaga diri dari maksiat. Insya Allah, Allah melindungi kita dari godaan syaitan dan niat buruk manusia.

Untuk ukhtiku para syarifah cucu Baginda Rasulullah saw, kita mempunyai kewajiban lebih sebagai teladan bagi ukhti yang lain.. ingatlah akhlak mulia kakek kita Baginda Rasulullah, ingatlah air mata hababah Fatimah yang mengalir menyaksikan ahlul bait Rasulullah khususnya para syarifah yang seharusnya menjaga kemuliaan keturunan Rasulullah kini telah banyak mendurhakai Allah dan Rasulnya.

Penulis bukanlah manusia yang sempurna. Ini semua adalah bentuk kecintaan terhadap Rasul dan Ahlul baitnya, dan untuk semua muslimah agar tetap menjaga kehormataannya. karena sesungguhnya ajaran Islam adalah yang paling mulia, yang pertama-tama mengangkat derajat kaum wanita.
Wallahu a’lam bishawab.


sumber : Saudariku apa yang menghalangimu untuk berjilbab – Abdul Hamid AlBilaly

TENTANG KAFA'AH

Beberapa waktu lalu saya mengobrol dengan seorang bapak yang sekitar 40 tahun. Dia sempat curhat bahwa semasa muda ia pernah pacaran dengan gadis keturunan arab (bukan keturunan alawiyin). tapi hubungan itu terpaksa kandas karena si gadis harus menikah dengan lelaki yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Bapak itu merelakannya, namun, Ia menyebut hal itu sebagai diskriminasi. saya bingung, bagaimana harus menjelaskannya. karena keterbatasan ilmu saya saat itu, dan mungkin saja bapak itu tidak bisa terima bagitu saja. Hal ini memang cukup sensitif jika dibicarakan, karena kadang bisa menimbulkan ketersinggungan oleh orang yang bukan keturunan alawiyin, karena merasa dibeda-bedakan. oleh sebab itu, saya berinisiatif untuk mengemukakan masalah ini dengan mengutip dari sebuah sumber. semoga bermanfaat.
-----

Agama Islam secara umum menilai setiap manusia berdasarkan iman, ilmu, amal dan taqwanya. Namun Islam tidak pernah menafi'kan masalah keberadaan pertalian nasab dengan seseorang. Bahkan Islam menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang bertalian nasab kepada Nabi Muhammad saw. Apabila memperhatikan, mempelajari, dam memahami hadits-haditas Rasulullah mengenai Ahlul bait, wajar jika kita memelihara tali hubungan kefamilian dan pertalian nasab dengan Baginda Rasul, termasuk di dalamnya seorang syarifah yang diwajibkan menjaga dirinya serta keturunannya agar tetap bertalian dengan Rasulullah yang dikenal dengan kafa'ah.

Pemberlakuan kafa'ah bagi syarifah tidak dapat digolongkan sebagai adat juga bukan pula bersifat ashobiyah, sebab yang dapat digolongkan adat apabila tidak ada perintah atau larangan dalam syari'at. Banyak dalil-dalil dalam syari'at yang menunjukkan bahwa kafa'ah bukanlah adat. Di bawah ini akan di uraikan beberapa dasar hukum yang bertalian dengan masalah kafa'ah.

Para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafi'i dalam masalah kafa'ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan :"Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya (syarif).
menurut mazhab Syafi'i, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinannya dengan selain Bani Hayim, maka mere itu berdosa. Sebaliknya, Mazhab Maliki dan Imamiyah tidak mensyaratkan adanya kafa'ah dalam pernikahan. Menurut mereka sikap muslim yang baik adalah kufu' dengan wanita muslimah yang baik.

Seorang Ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah? Ibnu Timiyah menjawab : " kafa'ah dalam nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad-dalam salah satu riwayat darinya - kafa'ah adalah hak istri dan kedua orang tua. Maka apabila semua rela tanpa kufu, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah "hak Allah" dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaa'ah."

Dalam kitabnya Bughyatul Murtasyidin Al-Alamah Sayid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, yang sampai saat ini kitabnya dipelajari di pesantren-pesantren bahkan merupakan salah satu di antara buku standar di pengadilan agama, berkata : "Seorang Syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, amak aku tidak melihat diperbolhekannya pernikahan tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi saw dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah Az-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait tersebut.

Imam Ahmad bin Hambal berkata : "wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu', maka ia berhak membatalkannya. Bahwa wanita hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu', maka keridhaan mereka tidak sah"

Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi) dalam kitabnya Qawanin Syar'iyah, dikatakannya telah disebutkan dalam kitab Tarsyikul Muftadin Hasiyah Fathul Mu'in, yaitu : " maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait Nabi saw, sebaiknya menjauhkan diri dari menfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya rdha dan walinya yang dekatpun rida. Hal ini berlaku secara umum. tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid."

Sungguh patut disesalkan jika seseorang dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja menikahkan w anita tersebut tanpa seizin wali terdekatnya, apalagi tidak sekufu' (kawin lari). Tindakan tersebut meruapakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah saw dan menyakitinya apabila terjadi suatu perkawinan terhadap putri-putri keturunan beliau dengan tanpa pertimbangan kafa'ah terlebih dahulu, melallaikan amanat dan tidak memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau.
Sehubungan dengan itu, Allah swt berfirman dalam Al-Qur'an :
"tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah saw dan tidak boleh mengawini istri-istrinya selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah swt"
Dari ayat tersebut dapatlah kita pahami dan simpulkan, bahwa apabila istri-istri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk mengawini mereka karena dianggap akan mengganggu Rasulullah saw, dimana ikatan mereka dengan Rasul karena adanya hubungan pernikahan, apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung karena hubungan nasab, darah, dan kefamilian.
sebagai penutup, pahami sabda Rasulullah di bawah ini :
"maka mereka (Ahlul bait Nabi saw) adalah keturunanku, diciptakan (Allah swt) dari darah dagingku, dan dikaruniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah orang dari umatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada orang-orang seperti itu Allah tidak akan menurunkan syafa'atku."
(HR. Tabrani, Al-Hakim, Rafi'i, dan para ulama Islam dari berbagai mazhab : Imamiyah, Hanafi, Syafi'i, Maliki, Hanbali dan Mazhab Zaidiyah)

Bagaimana saudara memahami hadits ini? mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan Nabi SAW, kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak, dan tidak akan terputus nasab kalau bukan karena perkawinan syaraifnya dengan lelaki yang tidak senasab kepada Nabi saw.


-semoga kita diberi pemahaman dan petunjuk dari Allah SWT-


dikutip dari : Sekilas Tentang Kaum Alawiyin (Habaib) - Idrus Alwi